Skizofrenia
 adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental 
berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh 
kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia 
merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada 
dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa 
psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau 
respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. 
Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi 
(persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Pada pasien penderita, 
ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang merupakan 
pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada fluida 
cerebrospinal. Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. 
Data
 American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% 
populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia
 mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda 
memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
 penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena 
dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan 
intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena 
semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan 
resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami 
gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Gangguan
 jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang 
dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan 
lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut 
perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. Skizofrenia 
pada lansia angka prevalensinya sekitar 1% dari kelompok lanjut usia 
(lansia) (Dep.Kes.1992).Banyak pembahasan yang telah dikeluarkan para 
ahli sehubungan dengan timbulnya skizofrenia pada lanjut usia (lansia). 
Hal itu bersumber dari kenyataan yang terjadi pada lansia bahwa terdapat
 hubungan yang erat antara gangguan parafrenia, paranoid dan 
skizofrenia. Parafrenia lambat (late paraphrenia) digunakan oleh para 
ahli di Eropa untuk pasien-pasien yang memiliki gejala paranoid tanpa 
gejala demensia atau delirium serta terdapat gejala waham dan halusinasi
 yang berbeda dari gangguan afektif.
Skizofrenia
 terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh dunia. 
Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. 
Gejala-gejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua 
puluhan. Pria sering mengalami awitan yang lebih awal daripada wanita.
Gangguan skizofrenia sebenarnya dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
- Skizofrenia paranoid (curiga, bermusuhan, garang dsb)· 
- Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum, dsb) 
- Skizofrenia hebefrenik (seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-minta, dsb) 
- Skizofrenia simplek (seperti gelandangan, jalan terus, kluyuran)· 
- Skizofrenia Latent (autustik, seperti gembel)
 
Pada
 umumya, gangguan skizofrenia yang terjadi pada lansia adalah 
skizofrenia paranoid, simplek dan latent. Sulitnya dalam pelayanan 
keluarga, para lansia dengan gangguan kejiwaan tersebut menjadi kurang 
terurus karena perangainya dan tingkahlakunya yang tidak menyenangkan 
orang lain, seperti curiga berlebihan, galak, bersikap bermusuhan, dan 
kadang-kadang baik pria maupun wanita perilaku seksualnya sangat 
menonjol walaupun dalam bentuk perkataan yang konotasinya jorok dan 
porno (walaupun tidak selalu). 
Gangguan Jiwa Afektif
Gangguan
 jiwa afektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya gangguan 
emosi (afektif) sehingga segala perilaku diwarnai oleh ketergangguan 
keadan emosi. Gangguan afektif ini antara lain:
a. Gangguan Afektif tipe Depresif
 --- Gangguan ini terjadi relatif cepat dalam beberapa bulan. Faktor 
penyebabnya dapat disebabkan oleh kehilangan atau kematian pasangan 
hidup atau seseorang yang sangat dekat atau oleh sebab penyakit fisik 
yang berat atau lama mengalami penderitaan.Gangguan ini paling banyak 
dijumpai pada usia pertengahan, pada umur 40 – 50 tahun dan kondisinya 
makin buruk pada lanjut usia (lansia). Pada usia pertengahan tersebut 
prosentase wanita lebih banyak dari laki-laki, akan tetapi diatas umur 
60 tahun keadaan menjadi seimbang. Pada wanita mungkin ada kaitannya 
dengan masa menopause, yang berarti fungsi seksual mengalami penurunan 
karena sudah tidak produktif lagi, walaupun sebenarnya tidak harus 
begitu, karena kebutuhan biologis sebenarnya selama orang masih sehat 
dan masih memerlukan tidak ada salahnya bila dijalankan terus secara 
wajar dan teratur tanpa menggangu kesehatannya.
Gejala
 gangguan afektif tipe depresif adalah: sedih, sukar tidur, sulit 
berkonsentrasi, merasa dirinya tak berharga, bosan hidup dan 
kadang-kadang ingin bunuh diri. Beberapa pandangan menganggap bahwa 
terdapat 2 jenis depresi yaitu Depresi tipe Neurotik dan Psikotik. Pada 
tipe neurotik kesadaran pasien tetap baik, namun memiliki dorongan yang 
kuat untuk sedih dan tersisih. Pada depresi psikotik, kesadarannya 
terganggu sehingga kemampuan uji realitas (reality testing ability) ikut
 terganggu dan berakibat bahwa kadang-kadang pasien tidak dapat 
mengenali orang, tempat, maupun waktu atau menjadi seseorang yang tak 
tahu malu, tak ada rasa takut, dsb.
b. Gangguan Afektif tipe Manik
 --- Gangguan ini sering timbul secara bergantian pada pasien yang 
mengalami gangguan afektif tipe depresi sehingga terjadi suatu siklus 
yang disebut gangguan afektif tipe Manik Depresif. Dalam keadaan Manik, 
pasien menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan 
sehingga mendorong pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas 
kemampuannya, pembicaraan menjadi tidak sopan dan membuat orang lain 
menjadi tidak enak. Kondisi ini lebih jarang terjadi dari pada tipe 
depresi. Kondisi semacam ini kadang-kadang silih berganti, suatu ketika 
pasien menjadi eforia, aktif, riang gembira, pidato berapi-api, 
marah-marah, namun tak lama kemudia menjadi sedih, murung, menangis 
tersedu-sedu yang sulit dimengerti.
c. Neurosis
 --- Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia 
(lansia). Sering sukar untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia 
(lansia) karena disangka sebagai gejala ketuaan. Hampir separuhnya 
merupakan gangguan yang ada sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya 
lagi adalah gangguan yang didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia 
(lansia). Gangguan neurosis pada lanjut usia (lansia) berhubungan erat 
dengan masalah psikososial dalam memasuki tahap lanjut usia (lansia). 
Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya 
tilikan (insight) serta daya menilai realitasnya yang baik. 
Kepribadiannya tetap utuh, secara kualitas perilaku orang neurosis tetap
 baik, namun secara kuantitas perilakunya menjadi irrasional. Sebagai 
contoh : mandi adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang normal sehari 2
 kali, namun bagi orang neurosis obsesive untuk mandi, ia akan mandi 
berkali-kali dalam satu hari dengan alasan tidak puas-puas untuk mandi. 
Secara umum gangguan neurosis dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Neurosis cemas dan panic 
- Neurosis obsesif kompulsif 
- Neurosis fobik 
- Neurosis histerik (konversi) 
- Gangguan somatoform 
 
Faktor resiko penyakit ini termasuk:
- Riwayat skizofrenia dalam keluarga 
- Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri, dan/atau impulsivitas. 
- Stress lingkungan 
- Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat kecil. 
- Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini
 
Tidak
 ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab 
skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan
 yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya
 beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic 
herediter. Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya 
kedekatan genetic dengan, dan beratnya penyakit, probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT)
 otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak 
penderita skizofrenia dari otak normal walau pun belum ditemukan pola 
yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain Electrical Activity Mapping
 (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa 
individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk
 traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke 
berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling 
luas diterima untuk skizofrenia.
Semua
 tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan 
penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat 
gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas 
pada semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya 
menegakkan diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia. Keputusan klinis 
diambil berdasarkan sebagian pada:
- Tanda dan gejala yang ada 
- Riwayat psikiatri 
- Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan putus obat akut.
 
Gejala - Gejala
Indikator
 premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan 
seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh 
tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan 
terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar 
(sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, 
mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi 
pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa 
senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Secara umum, gejala-gejala yang muncul pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut:
- muncul delusi dan halusinasi.
 Delusi adalah keyakinan/pemikiran yang salah dan tidak sesuai 
kenyataan, namun tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan pada cukup 
banyak bukti mengenai pemikirannya yang salah tersebut. Delusi yang 
biasanya muncul adalah bahwa penderita skizofrenia meyakini dirinya 
adalah Tuhan, dewa, nabi, atau orang besar dan penting. Sementara 
halusinasi adalah persepsi panca indera yang tidak sesuai dengan 
kenyataan. Misalnya penderita tampak berbicara sendiri tetapi ia 
mempersepsikan ada orang lain yang sedang ia ajak berbicara. 
- kehilangan energi dan minat
 untuk menjalani aktivitas sehari-hari, bersenang-senang, maupun 
aktivitas seksual, berbicara hanya sedikit, gagal menjalin hubungan yang
 dekat dengan orang lain, tidak mampu memikirkan konsekuensi dari 
tindakannya, menampilkan ekspresi emosi yang datar, atau bahkan ekspresi
 emosi yang tidak sesuai konteks (misalkan tiba-tiba tertawa atau 
marah-marah tanpa sebab yang jelas). 
- menampilkan perilaku tidak terorganisir,
 misalnya menampilkan pose tubuh yang aneh, pembicaraan yang tidak 
tertata dengan baik (bicara melompat-lompat dari satu topik ke topik 
yang lain atau 'tidak nyambung').
 
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejala Positif. Termasuk
 halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini 
disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati 
oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif. Gejala-gejala
 yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri 
khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu 
menampakkan/ mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya 
dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan 
yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski
 bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit 
psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit
 dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger 
atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic Stress 
Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia 
pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh 
psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada
 remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor 
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau 
kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan 
kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan
 ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal
 orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek 
sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada 
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak 
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan 
ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh 
dan inkoheren.
Tidak
 semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi 
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala 
skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya,
 mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor 
psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis 
obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin 
(ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita
 skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu 
menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, 
terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan 
penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita 
skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang 
dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Terapi Penyakit Skizofrenia
Pemberian obat-obatan
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika.
 Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti
 klorpromazin, molindone, dan thioridazine pada penderita dengan 
hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara sepertiga 
hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. 
Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, 
penggunaannya disarankan sebatas obat penopang. Meskipun terapi 
elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah dibanding dengan neuroleptika bila 
dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika 
menguntungkan beberapa penderita skizofrenia.
Pendekatan Psikologi
Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial.
 Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau 
mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya dukungan
 sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada angka 
relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat pada keluarga 
hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi 
perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau 
motivasi bawah sadar.
Tujuannya adalah:
- Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia. 
- Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak. 
- Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps. 
- Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita. Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps. 
- Mengidentifikasi
 perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya dan 
memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
 
Psikodinamik
 atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan bagi 
individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi 
individual menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress 
atau mempertinggi kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung 
dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai dengan empati, rasa 
hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis terhadap kebingungan 
penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat penting 
dilakukan. 
Skizofrenia
 adalah gangguan jiwa yang parah dan sulit ditangani. Penderita 
skizofrenia tidak dapat disembuhkan secara total, dalam arti halusinasi 
dan delusi tidak dapat hilang total, karena tanpa pengobatan yang 
terus-menerus dan dukungan dari lingkungan, maka gejala-gejala 
skizofrenia dapat kembali muncul saat individu berada dalam tekanan atau
 mengalami stres. Intervensi sejak dini merupakan hal yang sangat 
penting dan bermanfaat dalam penanganan skizofrenia demi mencegah 
perkembangan gangguan ke arah yang semakin parah. Penanganan gangguan 
skizofrenia membutuhkan berbagai pendekatan selain dengan obat-obatan, 
tetapi juga dengan terapi-terapi baik terapi individu, kelompok 
(difokuskan pada keterampilan sosial, penyelesaian masalah, perubahan 
pemikiran, dan keterampilan persiapan memasuki dunia kerja), maupun 
keluarga.
Dalam
 terapi keluarga, diberikan informasi dan edukasi mengenai skizofrenia 
dan pengobatannya, selain itu terapi juga diarahkan untuk menghindarkan 
sikap saling menyalahkan dalam keluarga, meningkatkan komunikasi dan 
keterampilan pemecahan masalah dalam keluarga, mendorong penderita dan 
keluarga untuk mengembangkan kontak sosial, dan meningkatkan motivasi 
penderita skizofrenia dan keluarganya. 
Prognosis Penyakit Skizofrenia
Fase
 residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh, 
terutama selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama 
fase ini mirip dengan gejala dan tanda pada fase prodromal; 
gejala-gejala psikotik ringan menetap pada sekitar separuh penderita. 
Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun terjadi
 pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada sekitar
 dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami eksaserbasi 
intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi lingkungan yang 
penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan yang lebih 
berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri. 
Prognosis baik berhubungan dengan
 tidak adanya gangguan perilaku prodromal, pencetus lingkungan yang 
jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan, adanya konfusi, 
riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak kritis dan 
tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai 
prognosis yang lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus. 
Referensi : http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-skizofrenia-merupakan-gangguan.html